Ketika Cinta Terukir Sebagai Takdir
Oleh: Mira Hadistina (Kelas X MIA 1)
Cinta hadir dengan sejuta kehidupan
di dalamnya. Membawa sejuta kehangatan beserta pengorbanan yang siap untuk
dikobarkan. Membuat orang yang memilikinya merasakan keindahan. Membuat orang
yang kehilangannya merasakan kepedihan.
Cinta tidak selalu datang dengan
tiba-tiba. Cinta tidak selalu harus terucap dengan sebuah kata. Cinta hadir di
antara orang-orang yang saling mengasihi. Cinta hadir untuk pengorbanan dan
pengorbanan ada untuk cinta. Hati mungkin memang tidak bisa menolak akan
datangnya cinta. Tapi setidaknya keimanan dalam hati akan mampu mengendalikan
cinta tersebut.
Cinta sebenarnya tak buta. Tapi
entah mengapa orang yang merasakan cinta menjadi buta. Entah mengapa mereka
menghiasi cinta mereka hanya dengan nafsu semata. Padahal cinta memang penuh
dengan keindahan. Dan keindahan tersebut sama sekali tidak pantas dirusak oleh
nafsu belaka. Bukankah dengan menghiasinya dengan iman adalah hal yang terbaik
untuk mengisi kehidupan cinta. Bukankah membiarkan cinta tetap hidup di dalam
ruang yang terang lebih pantas dari pada membiarkannya tenggelam dalam
kegelapan. Karena cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang mampu memberikan
pengorbanan, bukan mengorbankan diri orang yang memiliki cinta.
Alangkah indahnya jika setiap insan
menyadari bahwa cinta yang hadir dalam kehidupan bersumber dari Allah SWT.
Manusia terlahir dengan cinta, tumbuh dengan cinta, dan diajarkan untuk
mencintai. Mencintai Tuhannya, mencintai Rasul-Nya, mencintai agamanya, dan
mencintai keluarganya. Dan cinta itu telah jauh tertanam di lubuk hati yang
paling dalam. Cinta yang paling semurni-murninya cinta. Tanpa ada dusta di
antaranya. Cinta yang tidak akan mungkin menyakiti orang yang merasakannya.
Cinta yang membuat mata menangis untuk ketulusan bukan kepedihan. Cinta yang
mampu menuntun dalam kebenaran.
Apakah manusia-manusia di luar sana
pernah berpikir sejauh mana mereka meninggalkan cinta sesungguhnya demi cinta
sementara. Mereka membuat cinta yang sesungguhnya jauh dari diri mereka dan
lebih memilih cinta yang tidak ada artinya. Lebih memilih mengorbankan diri
untuk sesuatu yang tidak pasti. Bersembunyi, berdusta, bahkan membantah. Itu
terlalu buruk untuk membalas cinta yang tulus.
Aku selalu berpikir bahwa apapun atau
siapapun yang kucintai harus bisa membahagiakan cinta yang sudah lama ada dalam
diriku. Semisal saja hal-hal yang kuimpikan, aku selalu berharap suatu saat
mimpi-mimpi itu bukan hanya membuat diriku tersenyum,tapi juga orang tuaku.
Atau siapapun yang akan hadir di dalam hidupku, aku berharap dia bisa membuat
cinta di sekitarku ikut tersenyum.
“Ini sudah kesekian kalinya bukan?”
tanya sahabatku, Salwa.
“Hanya untuk mempertahankan
prinsipku, tidak akan menikah sebelum aku sarjana.”
“Iya, tapi apa salahnya melenceng
sedikit. Tinggal beberapa bulan lagi kita sarjana,” balas Salwa.
Aku menghela nafas, kemudian
berkata, “Aku tidak mau hal itu jadi pengganggu. Lagi pula masih banyak hal
yang ingin kuraih. Rasanya tidak mungkin aku melepaskan diri dari orang tuaku
sebelum memberikan mereka hal yang membanggakan.”
“Bukannya semua orang tua selalu
bangga akan anaknya?” tanyanya tak puas.
“Tapi tidak menurut sudut
pandanganku,” jawabku sambil menatap lurus ke depan.
“Apa kau sedang menyukai seseorang?”
tanya Salwa setelah hening sepersekian detik. Matanya menatap mataku. Entah
jawaban seperti apa yang ia inginkan.
“Aku tidak tahu,” jawabku seadanya.
“Mungkin seseorang mulai ada dipikiranku tapi….” Ada keraguan untuk
mengatakannya.
“Bertentangan dengan prinsipmu?”
“Sama sekali tidak.” Berkali-kali
aku harus menghela nafas ketika harus menjawab pertanyaan dari Salwa. “Hanya
saja, aku bingung dengan apa yang kurasakan.”
“Aku pikir kamu mengharapkan orang
itu, Ra.”
“Aku tidak mengharapkannya.
Terkadang aku hanya menganggapnya orang lewat saja. Dia sama sekali tidak
mengenalku.”
Salwa tertawa pelan. Tentu saja aku
heran mengapa ia bertingkah seperti itu.
“Oh, jadi Zahra menguntit, ya?”
Dia mulai berbicara sembarangan.
Tentu saja aku tidak menguntit orang itu. Aku langsung melemparkan tatapan
tidak menyenangkan padanya.
“ Itu terdengar seperti sedang
mengintai seseorang,” kataku kesal.
“Baiklah Zahra, aku sekarang harus
masuk kelas,” Salwa membenarkan tas di bahunya dan berdiri. “Tidak apa-apa kan
kutinggal sendiri?”
“Aku bukan anak kecil, kok.”
Setelah meninggalkan senyum tipis,
Salwa langsung menghilang dari pandanganku. Langkahnya cepat sekali. Mungkin ia
sedang tergesa-gesa.
Mataku memandang sekeliling tempat
di mana aku berada. Mulutku masih bersusah payah menghabiskan makanan siangku.
Tiba-tiba pandanganku berhenti pada seorang pria yang sedang sibuk mengerjakan
sesuatu bersama laptopnya. Kupikir dia belajar dengan sangat gigih.
Berkali-kali aku menemuinya dengan keadaan seperti ini. Aku juga sering melihatnya
mengurus beberapa organisasi yang ada di kampus.
Seuntai senyum tipis serasa mengukir
di bibirku. Beberapa detik kemudian aku tersadar dan menghentikan apa yang
telah kulakukan. Berkali-kali juga aku mengucap istighfar di dalam
hatiku. Berharap apapun yang kurasakan tidak menimbulkan sesuatu yang
merugikan. Tak lama kemudian aku kembali fokus terhadap makananku.
“Khalid!!!” teriak dua orang gadis
yang umurnya kuperkirakan umurnya tak jauh denganku. Mereka berjalan dengan
cepat menuju seseorang yang sempat menarik perhatianku. Aku hanya menggelengkan
kepala melihatnya. Kupikir keadaan di sini cukup ramai dan sebagai perempuan
seharusnya mereka mampu menjaga harga diri.
Kali ini mataku kembali ke tempat
itu. Tapi bukan untuk pria itu. Namun dua orang gadis yang beberapa detik lalu
sempat menjadi perhatian orang-orang. Terlihat dua gadis itu memberikan
bingkisan yang sangat manis. Laki-laki yang bernama Khalid itu tadihnya
terlihat datar namun setelahnya menunjukkan senyum manisnya seraya menyambut
hadiah tersebut. Aku sudah sering melihatnya. Dia memang memiliki wajah yang
tampan dan penuh kharisma. Tak heran jika ia memiliki banyak penggemar. Tapi
tentu saja bukan sebagai hal utama yang menarik perhatianku. Aku memandangnya
sebagai sosok laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Lihat saja dari raut
wajahnya saat ini sebenarnya tidak terlalu senang. Tapi ia tidak ingin
menyinggung siapapun, jadi senyum terurai dari wajahnya.
Waktu sudah memasuki shalat dzuhur.
Aku bergegas pergi ke musholla untuk memenuhi panggilan dan kewajibanku sebagai
seorang muslim. Tidak terlalu ramai. Hanya ada segelintir kecil orang yang
hatinya terpanggil untuk shalat. Miris memang. Padahal katanya negara ini
adalah negera muslim terbesar. Yah, mungkin hanya sebatas katanya.
Lima belas menit kemudian aku keluar
dari musholla dengan hati yang lebih tentram. Aku memutuskan untuk pulang
karena memang tak ada jam kuliah lagi. Lagi, lagi dan lagi langkah dan mataku
harus berhenti di satu titik. Tepat pada seorang pria yang masih setia bersama
Al-Qur’an di sana. Telihat sangat khusyuk. Tapi aku tak mau berlama-lama dan
segera menyudahinya. Aku tak mau pandanganku berubah menjadi nafsu belaka. Jika
memang aku menaruh hati padanya, aku ingin belajar bertanggung jawab tentang
perasaanku sendiri. Bertanggung jawab atas alasan apa aku menyukainya. Aku
mungkin juga harus mengintropeksi diriku, sehingga aku tahu apakah aku harus
mengambil kesempatan jika ada, atau aku
harus mendahulukan yang lebih pantas untuknya.
Awalnya aku berniat memasukkan
kendaraan roda duaku ke dalam garasi. Akan tetapi sebuah mobil menghalangi
pintunya. Mau tidak mau aku harus meletakkannya di samping mobil itu untuk
sementara. Terdengar beberapa suara dari ruang tamu. Sepertinya ada tamu
penting hari ini. Rasa enggan langsung menyergapku untuk masuk karena tidak
enak langsung menerobos walaupun itu rumahku sendiri. Alhasil aku harus menunggu
beberapa menit di halaman depan rumah.
Aku langsung bangkit dari dudukku
saat menyadari para tamu itu segera pulang. Ketika berpapasan mereka
memandangku dan tersenyum. Tentu saja aku membalasnya. Orang tuaku sempat
berbincang-bincang sedikit sebelum para tamu itu pulang. Selepasnya aku langsung
melontarkan pertanyaan yang ternyata dibalas pertanyaan.
“Siapa, bu?” tanyaku.
“Baru sampai?” ayahku malah balik
bertanya. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan mengiringi mereka masuk ke
dalam rumah.
“Assalamu’alaikum,” ucapku
saat kakiku menginjak bagian dalam rumah.
“Wa’alaikumsalam,” jawab
mereka serempak.
“Jadi, siapa dan ada apa?” tanyaku
kembali bertanya karena penasaran.
“Untuk kesekian kalinya, Zahra.”
Hanya dengan berkata seperti itu aku dapat memahami maksud ibuku.
“Kalian tidak menjanjikan aku untuk
menerimanya kan?”
“Kami memberikan kesempatan,” jawab
ayahku.
“Ayah, ibu, aku terima siapapun
pilihan kalian. Tapi aku mohon, biarkan aku menyelesaikan semua impianku.”
“Kali ini berbeda, Zahra.” Aku
mengerutkan alisku. “Dia akan menunggu sampai aku siap. Dia akan membiarkanmu
untuk meraih semua keinginanmu. Dia akan menanti untuk memberikanmu
kesempatan.”
Aku tertegun mendengarnya. Sejenak
aku berpikir kenapa tidak sekalian menunggu aku sarjana. Apa bedanya ada
kemungkinan laki-laki lain yang akan ku pilih.
“Apa ia tidak ikut ke sini?”
tanyaku. Memang, aku tadih hanya melihat sepasang suami isteri.
“Benar,” jawab ibuku.
“Tapi kenapa?” entah mengapa rasa
penasaranku begitu membumbung tinggi di ubun-ubun.
“Karena ia hanya meminta langsung
jika kamu siap, Zahra. Dan orang tuanya hanya melakukan pendekatan kepada ayah
dan ibu.” Aku tidak mengerti…
Aku tak ingin banyak mengambil
pusing tentang itu. Tapi, kejadian hari itu mampu membuatku berhenti merasa
dikejar rasa bersalah karena harus menolak orang lain yang berniat baik. Aku
bisa lebih fokus belajar dalam meraih segala yang kuinginkan. Hari-hariku
terasa lebih mudah dan bebas. Orang tuaku juga tak lagi memberikan pertanyaan
seputar menikah kepadaku.
Namun dibalik itu semua ada perasaan
yang mengganjal. Aku begitu penasaran siapa laki-laki yang mau menunggu selama
itu dan kemungkinan aku hanya menggantungnya. Disisi lain, harus ku akui bahwa
aku menyukai Khalid. Mungkin saja aku melupakannya tapi hatiku serasa ingin
mengejar. Tidak, anggap saja itu hanya perasaan lewat. Kupikir Khalid terlalu
baik untukku. Alangkah lebih baik aku mengharapakan seseorang yang benar-benar
menungguku. Benar-benar bisa membuat orang tuaku ridha. Aku pernah berjanji
untuk belajar bertanggung jawab kepada perasaanku. Aku juga mempunyai prinsip
mencintai seseorang yang mampu membuat orang tuaku bahagia. Karena aku akan selalu
merasa bahagia kala orang tuaku bisa mengukir senyum atas diriku.
Seperti sekarang, aku bisa tersenyum
bersama kedua orang tuaku. Aku berhasil menamatkan S1 dan langsung diterima di
sebuah perusahaan elite. Sahabatku Salwa juga tersenyum lebar bersamaku
di foto. Kami sama-sama berhasil mewujudkan salah satu dari sekian milyaran
impian dalam angan.
“Jadi, Khalid itu sepupumu?” tanyaku
kaget. Bukan karena perhatianku tercuri saat nama Khalid disebut. Akan tetapi
aku benar-benar merasa kaget karena selama ini aku tidak mengetahuinya. Bahkan
mungkin tidak ada yang tahu di kampus ini.
“Iya, aku tidak mau jadi perantara
penggemarnya. Kamu tahu maksudku kan?”
Aku mengangguk dan terkekeh.
“Seandainya hal itu diketahui penggemarnya, pasti kamu sudah menjadi tukang
antar jasa hadiah gratis.”
“Untung Khalid setuju saja dengan
keinginanku,” kata Salwa dengan menunjukkan wajah sangat bersyukur. “Kamu tahu,
dia memang anak yang sangat cerdas. Walaupun dia seangkatan kita, dia sudah
bekerja jauh sebelum sarjana. Dan setelah sarjana pun dia mendapat kenaikan
pangkat di sebuah perusahaan.Dia juga anak yang baik dan bertanggung jawab.
Jadi, wajar saja penggemarnya banyak. Nilai plus dia memiliki wajah yang
menawan,” Salwa bercerita panjang lebar.
“Tapi tunggu, sekarang kamu tidak
takut untuk memberitahukan ini kepadaku akan membuatmu jadi perantara?” godaku
bercanda.
“Pertama, kamu bukan tipe perempuan
seperti itu. Lagi pula kamu sahabatku. Sekalipun hal itu terjadi juga bukan
masalah. Dan yang kedua, ku pikir setelah perempuan-perempuan di luar sana
mengetahui bahwa Khalid sudah memiliki tambatan hati mereka tidak akan terlalu
bertingkah,” jawabnya santai dan terdengar ada nafas lega di antaranya.
“Itu bagus. Aku juga kasihan
melihatnya.” Salwa hanya mengangguk.
Entah apa yang kurasakan
mendengarnya telah memiliki seseorang. Tapi aku tahu, kesempatan memang tidak
berpihak kepadaku. Dan aku lebih memilih melepaskan dan berkorban. Aku juga
tidak memaksakan akan jodoh. Aku percaya apa yang sudah direncanakan Allah SWT
itu jauh lebih indah dari apa yang kita andaikan. Apa yang kulakukan terhadap
perasaanku padanya telah mampu membuat hatiku tegar. Tak ada rasa sakit. Aku
malah terus mengucap syukur karena selama ini aku berhasil membentengi hatiku.
Aku malah merasa telah diberi keringanan. Yaitu keringan untuk mencintai
seseorang yang sudah lama menungguku. Walaupun aku belum mengetahui siapa dia,
tapi aku yakin jika memang dia yang direncanakan Allah SWT untukku, maka tidak
ada hal yang lebih indah dari pada itu.
Tepat sebulan setelah sarjana dan
aku perlahan mampu menghidupi diriku sendiri, laki-laki itu datang bersama
keluarga kecilnya. Aku benar-benar merasa gugup. Adrenalinku berpacu begitu
kencang. Keringat dingin mulai membasahi kulitku. Aku tidak tahu mengapa.
Aku dan orang tuaku juga saudariku
berdiri tegak menyambut sebuah mobil yang baru beberapa detik memasuki halaman
rumahku. Kami semua menunjukkan senyum terbaik kami untuk menyambut tamu yang
spesial. Senyumku tadihnya sangat mengembang walaupun harus bergetar karena
gugup. Hingga saat aku melihat siapa yang selama ini menungguku, senyum itu
langsung turun berganti keheranan.
“Khalid….” Lirihku tak percaya.
***
Pernahkah kalian mendengar atau
mungkin membaca sebuah kalimat yang berisi Jika kamu memusatkan cintamu
hanya kepada Allah SWT, maka kamu tidak perlu mengejar cintamu. Namun,
cintamulah yang akan datang menghampirimu. Kupikir itu telah terjadi pada
kehidupanku. Cinta yang berhasil mencuri hatiku ternyata memang ditakdirkan
untukku. Belajar bertanggung jawab akan perasaan, membuang cinta karena nafsu
dan lebih memilih cinta yang memperkuat iman, mengharapkan cinta yang diridhai
orang tua hingga berujung kepada ridha Allah SWT, semua itu memang benar-benar
indah. Seandainya jika memang Khalid bukan jodohku, aku tidak akan merasa sakit
hati. Karena cintaku berlandaskan kepada Allah SWT. Karena aku selalu yakin
bahwa cinta untukku adalah cinta yang terbaik. Sebagaimana Allah SWT telah
memilihkan orang tua yang luar biasa untukku. Sebagaimana Allah memilihkan
sejuta kebahagiaan untukku. Tapi, sekarang takdir yang kujalani memang
bersamanya. Aku bersyukur dan aku bahagia. Aku berhasil meraih cintanya melalui
do’a-do’aku setiap malam. Bukan dengan jalan nafsu belaka. Taka da air mata
yang begitu menyakitkan antara kami. Kami seperti air. Seperti hujan mengisi
sungai untuk kehidupan.
“Aku sama sekali tidak mengatahui
bahwa kamu juga menyukaiku,” kataku lirih dan tersenyum kepadanya.
“Begitupun aku sebaliknya,” jawabnya
dan membalas senyumanku. “Bahkan Salwa, yang notabenya sepupuku dan
sahabatmu juga tidak tahu.”
“Kita menyembunyikannya?”
“Aku tidak tahu kamu menjalaninya
seperti apa. Tapi aku menjalaninya untuk sebuah keseriusan. Dan tidak ada
maksud untuk menyembunyikan.”
“Aku hanya tidak ingin
membesar-besarkan cinta, padahal kita tidak tahu akhirnya seperti apa. Cukup
antara aku dan Tuhanku yang tahu,” balasku. “Tapi aku masih mempunyai
pertanyaan kenapa kamu tidak langsung menampilkan diri pada saat kunjungan
pertama orang tuamu?”
“Salwa sering bercerita tentangmu,”
kata Khalid seperti memulai sebuah pembicaraan baru.
“Tentangku?”
Dia hanya mengangguk pelan. “Salwa
begitu senang memiliki sahabat sepertimu. Dia pernah bilang bahwa kamu
berkali-kali menolak pria karena waktu yang menurutmu tidak tepat. Tentu saja
aku tidak ingin mengulangi hal itu jika hanya berakibat kegagalan. Disisi lain,
aku ingin membebaskan mimpi-mimpimu. Aku mencintaimu dan siap menunggumu, jika
kamu memang jodohku. Aku membiarkanmu terbang sejauh mana kamu mau karena aku
tahu kamu pasti akan kembali kepada jodohmu, bukan?” tuturnya panjang lebar dan
hanya kubalas dengan anggukan.
“Lalu?” hatiku terus meminta
penjelasan yang lebih. Aku suka dengan tutur kata seorang pria yang kini telah
sah menjadi suamiku.
“Aku tahu bahwa kamu adalah tipe
orang yang sangat menyayangi orang tuamu. Aku bisa paham itu. Karena aku juga
mempunyai prinsip yang sama. Mungkin aku tidak akan seberhasil kamu dalam
membahagiakan orang tuamu. Tapi setidaknya, dengan menjaga putri kesayangan
mereka, aku bisa membuat mereka bahagia dan senang.” Aku hanya dapat
memandnagnya dan tak bisa berkata apapun. ”Maka dari itu aku bekerja keras,
mempersiapkan segala nafkah lahir dan bathin. Berkali-kali harapanku serasa
putus ketika mendengar kamu dilamar orang lain. Tapi hal itu tidak pernah
menyurutkan kerja kerasku dalam melatih diri menjadi suami yang pantas. Itulah
salah satu alasan mengapa aku tak menampilkan diri. Karena aku masih belum
merasa siap.”
“Kamu tahu, berkali-kali pula aku
harus menekan segala perasaanku. Berpikir bahwa kamu dikelilingi berbagai
wanita. Dan tidak menutup kemungkinan ada wanita yang lebih baik dariku dan
lebih pantas untukmu. Aku hanya berdo’a setiap malam jika kamu memang jodohku,
aku bisa menjadi yang terbaik. Jika tidak, aku berdo’a semoga aku mendapatkan
yang lebih baik yang mampu membuatku merasa tentram untuk dunia dan akhirat,
begitu juga untuk dirimu,” balasku mencurahkan segalanya.
Aku tidak tahu kata-kata apalagi
yang dapat ku ungkapkan. Tapi setidaknya kisah cinta ini mengingatkan tentang
cerita cinta terindah antara Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Cinta
mereka yang mampu disimpan dalam-dalam. Bahkan iblis pun tidak mengetahuinya.
Walaupun kisah cintaku tidak sesempurna itu. Tapi setidaknya aku bisa merasakan
indahnya cinta sesungguhnya. Cinta yang berlandaskan ridha Allah SWT dan
mengikuti sunnah Rasul-Nya. Serta merta restu dari orang tua tercinta. Seperti
kalimat yang terdapat dalam bagian kisah cinta Fathimah dan Ali bahwa cinta
adalah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan
tersebut. ”Bukan janji-janji”, tetapi keberanian untuk menikah. Inilah jalan
cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggung jawab. Ia mempersilahkan atau mengambil kesempatan. Yang pertama
adalah pengorbanan, yang kedua adalah keberanian…
Ketika cinta memang terukir sebagai
takdir, kita tidak akan bisa membantahnya. Ketika cinta sudah tertulis dalam
catatan kehidupan, kita tidak bisa menghapusnya. Dan ketika cinta telah menyapa
jiwa setiap insan, kita hanya perlu belajar memahami cinta tersebut. Berharap
dengan diiringi do’a. Belajar untuk bisa mengikhlaskan untuk apa yang akan
dijalani. Dan belajar untuk menuntun cinta berada dalam kebenaran agar cinta
selalu berlandaskan karena Allah SWT.
|
-TAMAT-